Senin, 26 Agustus 2013

Sex Pertama dengan Saudara Sendiri

Cerita Dewasa | Sex Pertama dengan Saudara Sendiri


Sex Pertama dengan Saudara Sendiri

Saya punya kebiasaan onani saya seperti cowok teman-teman saya. Tapi sebagai perangsang, saya gak hanya memakai buku atau film BF tapi juga orang. Soalnya saudara saya banyak yang cewek plus cakep-cakep masih SMP, body`nya jadi. Karena rumah saya yang besar, saudara saya (terutama yang cewek) sering menginap, nah waktu itu yang saya suka. Biasanya malam-malam saya naik ke kamar tamu, dan mengendap-ngendap. Saya naik ke atas ranjang dan mulai aksi saya dengan pegang-pegang body saudara saya sambil ngocok. gak jarang saudara saya tidur nyenyak banget sehingga saya bisa ngobel-ngobel vaginanya.

Nah, kebetulan minggu lalu pas libur Sidang Umum saudara saya menginap. Ada satu saudara perempuan saya yang asli cantik namanya Joyce. Saya kepingin benar ngobel vaginanya tapi gak dapat, soalnya dia baru kepegang paha saja sudah sadar. Tapi ini malam lain, saya memulai petualangan saya lagi. saya naik ke kamar atas, terlihat si Joyce tidur dengan posisi nafsuin. Menghadap ke atas (telentang) kaki rada mengangkang. Darah saya sudah berdesir saja. Saya mulai naik ke atas ranjang, ternyata dia memakai celana longgar. perlahan-lahan saya mulai tarik celananya kebawah dan mengintip ke dalam. Kelihatan CD-nya. Saya sudah mau masukan tangan saja. Tapi saya takut dia bangun. Tapi, lama-lama saya gak tahan juga. Saya masukin tangan saya, wah dia diam saja. Saya masuk lebih dalam lagi. Nyentuh CD-nya, saya mulai mau tarik CD-nya. Tangan saya satu lagi ngocok² penis saya. Tahu² dia bangun dan melihat saya lagi pegang penis saya. Wah, saya kaget dan buru² kabur sambil berharap dia melupakan dan dikira mimpi. Saya mau tidur lagi,"Sialan", dalam hati saya. Saya belum klimaks nih. Akhirnya saya tidur juga. Eh, malamnya saya merasa ada yang memegang tubuh saya. Saya bangun, ternyata si Joyce lagi memegang penis saya sambil tangannya masuk ke dalam CD-nya. Astaga, dia kaget juga, tapi terus berbicara. "Dengan ini kita seri ya?" terus dia mau pergi. Menyadari gelagat asyik ini saya langsung berkata, "Eh jangan pergi."
Terus dia bertanya "Emang kenapa, Loe marah?"
"Gak kok, loe demen pegangin barang gua, gua kepengen liat barang loe gimana kalau kita tukeran ?"
Dia diam sebentar terus bicara, "Yang benar?"
"Iya",
"Ya sudah dech, tapi loe duluan ya?"
Terus saya pun tarik celana saya yang longgar (maklum piyama) dan terlihatlah penis saya yg asli tegang (penis saya 12cm dan diameter 4cm). Lumayan buat anak 16 tahun. Dia kelihatan senang ditambah horny.
"Boleh gue pegang?"
"Loe mau apain juga boleh asal jangan disakitin."
Tangannya bergerak perlahan gemeteran, dia pegang penis saya. Darah saya berdesir waktu tangannya menyentuh penis saya. Baru sekali penis saya dipegang, dielus sama perempuan. Tangan yang satunya memegang celananya sendiri sambil sesekali menggesek. Saya lihat tambah horny.
"Eh, Joyce cukup donk, giliran lu."
"Gak ah malu",
"Eh, loe sudah janji, lagian cuma kita berdua kok."
"Ya sudah."
Dia pun mulai memegang celananya.
"Eh, tunggu, boleh gak saya yang buka?"
Dia berpikir terus bilang, "Boleh dech".

Tangan saya mulai memegang celananya. Terus saya gesek bagian vaginanya dia diam saja. Terus perlahan² saya tarik celananya turun, kelihatan CD-nya putih. Terlihat bagian vagina agak basah, perlahan dari samping saya tarik CD-nya. Tangan saya gemetar. Dia juga terlihat agak malu. Saya tarik ke samping, terlihat vaginanya, bulu kemaluannya paling baru 5 lembar (maklum baru 13). Saya buka sedikit, bau amis campur pesing mulai menyebar.
"Boleh saya elus ?"
"Boleh",
Saya mulai mengelus vaginanya, pas saya buka sedikit, kelihatan ada daging kecil dibagian atas, saya heran.
"Ahh, nikmat Di! Lagi donk",
Tiba² dia teriak, saya kaget. Terus saya dapet ide,
"Gimana kalau vagina lu gue gesek pakai penis gue?"
"Hah, jangan saya masih mau perawan",
"Tenang cuma luarnya doang gue jamin perawan lu gak hilang",
"Benar?"
"Benar."
"Ya sudah."
Terus CD-nya saya tarik kebawah dan CD saya saya turuni sendiri. Saya suruh dia tiduran, terus saya letakan penis saya diatas vaginanya (waktu itu saya sudah takut ketahuan bokap) terus saya gesek naik turun.
"Ahh nikmat DI, nikmat banget cepetan dikit Di."
Wah saya semakin nafsu saja saya gesek lagi, sementara vaginanya semakin banjir.
"Ahh terus Di, clit gua donk diutamain",
"Hah, apaan tuh clit?"
"Itu daging kecil yang tadi loe pegang",
"Oohh."
Terus saya mulai mencari "clit" tersebut dan saya gesek pakai kepala penis saya.
"Ahh nikmat Di terus Di."
Saya semakin nafsu saja, terus dia bercanda bicara begini,
"Ahh, uhh, ini mah dimasukin lebih nikmat kali ya?"
Saya yang nafsu senang benar dengar begitu. Saya ambil koran terus saya alaskan pantatnya.
"Ngapain Di?"
Saya diam saja terus saya pelan² cari lubang vaginanya dan saya sodok masuk penis saya.
"Ahh, jangan Di, adduuh sakit Di, please jangan ahh! "Saya kasihan juga saya tarik sedikit. Terus saya sodok sekuat tenaga"Ahh sakit banget Di, aduhh.." Saya cuek terus saya sodok sedikit. Sambil memegang payudaranya saya bisa melihat dia menangis. Tapi saya cuek, saya kayuh saja terus.
"Ahh Di sakit Di, loe tega loe Di, pokoknya perawan gue lu yang ambil." Tapi lama² dia diam juga, dia malah mulai menikmati.
"Ahh, Ahh, ohh, terus nikmat juga, teruss."

Mungkin karena sama² baru, gak lebih dari 15 menit kita sama² klimaks, saya keluarkan sperma saya didalam, asli nikmat banget. Setelah selesai, kita duduk senderan, koran tatakan tadi ada noda darah, darah perawan dia. Saya lihat dia menangis sambil menyandarkan kepalanya ke dada saya.
"Ah, Di, loe ngambil perawan gue, gue nyesel, tapi nikmat kok, gue tapi gak ngarep lo mau tanggung jawab, asal lo mau begini terus sama gue, lagian gue juga kok yang mulai."
"Gak, apapun yang terjadi saya tanggung, setelah cukup umur lo bakal gue nikahin apapun resikonya."
"Benar?"
"Suer!"
"Asyikk, loe baik deh, lain kali gue mau lagi deh."

Kamis, 01 Agustus 2013

mesum dengan tetangga

mesum 

berikut ini merupakan kisah yang sangat menarik, pengalaman sexual yang terbilang sangat nekad ! bagaimana tidak, mesum dengan istri tetangga kos sendiri, langsung aja nih dibaca 100% dijamin sange !! :D



Sore itu, aku terbangun. Kulihat jam di mejaku menunjukkan pukul 4.00 sore. Iseng aku memanjat dinding tembok pembatas kamarku, mau “melihat” tetangga sebelahku. Melalui ventilasi kulihat Mas Arif dan Mbak Nida sedang tidur-tiduran sambil mengobrol di atas tempat tidur. Aku mengawasi terus, kulihat Mas Arif hanya memakai singlet, begitu juga Mbak Nida yang hanya memakai baju dalam.

“Dasar pengantin baru, pasti mau main, ayo kapan mainnya ?” pikirku mulai tak sabaran.

Kulihat Mas Arif dan Mbak Nida berbicara sambil berpelukan, aku kurang bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Sesekali Mbak Nida tertawa cekikikan. Beberapa kali pula aku amati Mas Arif meremas payudara Mbak Nida.

Lama aku menunggu, hingga akhirnya yang aku harapkan terjadi juga. Tiba-tiba Mas Arif membuka celana pendeknya dan memegang tangan Mbak Nida, menyuruh Mbak Nida memegang penis Mas Arif. Mbak Nida kelihatannya menurut dan me-masukkan tangannya ke dalam celana Mas Arif, tetapi baru sebentar sudah ditariknya kembali, tampaknya Mbak Nida menolak.

“Yaaa..... itu aja nggak mau, apalagi kalau disuruh karaoke” desahku dalam hati kecewa.

Namun kekecewaanku terobati karena sejurus kemudian Mas Arif tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan melepas celananya. Kini ia hanya bercelana dalam dan bersinglet. Kemudian serta merta ia memeluk Mbak Nida. Aku tersenyum kegirangan, keinginanku untuk melihat keduanya mengentot tampaknya akan terpenuhi.

Tak lama, Mas Arif melepas pelukannya dan Mbak Nidapun mulai melepas celananya. Kini sama seperti suaminya, Mbak Nida hanya bersinglet dan bercelana dalam. Kulihat pahanya, putih dan mulus sekali.

Kemudian mendadak Mas Arif mengeluarkan penisnya dari celana dalamnya.

“Kecil sekali, dibandingkan punyaku,” kataku dalam hati melihat penis Mas Arif.

Mas Arifpun langsung meng-himpit Mbak Nida, tampaknya Mas Arif akan mempenetrasi Mbak Nida. Kulihat Mbak Nida memelorotkan celana dalamnya hanya sampai sebatas paha. Sejurus kemudian aku melihat pelan Mas Arif memasukkan penisnya ke dalam lubang vagina Mbak Nida yang tertutup bulu jembut. Setelah penis Mas Arif masuk keseluruhannya ke dalam pepek Mbak Nida, Mas Arif langsung memeluk Mbak Nida sambil menciumnya bertubu-tubi. Itu dilakukan cukup lama.

Aku sedikit keheranan kenapa Mas Arif tidak melakukan genjotan, tidak mendorong-dorong pinggulnya ? Mas Arif hanya diam memeluk Mbak Nida.

“Waaah.....ini pasti karena Mas Arif nggak tahan bermain lama, nggak seperti aku” kataku dalam hati, tertawa, merasa unggul dari Mas Arif.

Disinilah aku mulai melihat adanya kesempatanku untuk turut melakukan “tumpangsari” pada Mbak Nida.

Ditambah lagi, kejadian itu hanya berlangsung sangat singkat, sekitar 5 menit. Meskipun kulihat Mbak Nida tetap bisa mencapai orgasmenya, tetapi cepat pula Mas Arif menyusulnya. Aku me-nangkap kekecewaan di muka Mbak Nida, meski Mbak Nida berusaha tersenyum setelah “permainan” itu, tapi aku yakin ia tidak puas dengan permainan Mas Arif.

*****************

Peristiwa “observasi awal” hari kemarin itu membuatku mengambil kesimpulan, ada kemungkinan aku menyetubuhi Mbak Nida dan merasakan nikmat tubuhnya, kalau perlu aku juga akan menanam saham di tubuh Mbak Nida !

Itulah tekadku, aku mulai me-nyusun taktik. Mas Arif itu belum bekerja, ada kesempatan bagiku untuk membuatnya berpisah cukup lama dari Mbak Nida. Apalagi aku punya kenalan yang bekerja di perusahaan, namanya Toni.

Siang ini aku menjumpai Toni di kantornya,
“Hai Bud, apa kabar ?” tanya Toni sambil menjabat tanganku.
“Baik“ jawabku sambil ter-senyum.
“Silahkan duduk”

Setelah aku duduk di kursi kantornya yang empuk itu, aku mulai mengajukan permintaan,

“Ton, aku butuh bantuanmu”
“Oh, itu semua bisa diatur, bantuan apa ?”
“Aku butuh pekerjaan”
“Bisa, bisa, kamu mau kerja di mana ? gaji berapa ?”
“Oh..nggak ! Maksudku bukan untuk diriku, tapi ini untuk orang lain”
“Hm memangnya untuk siapa ?”
“Untuk temanku, Mas Arif, kamu wawancarai, tempatkan di mana saja kamu suka, nggak perlu tinggi-tinggi betul jabatannya”
“Aneh...tapi jika itu maumu, yaa tidak apa-apa”

“Yang penting kamu wawancarai dia cukup lama, beberapa kali”
“Oke, baik kalau gitu”
“Tapi...nanti jadwal wawanca-ranya aku yang tentuin”
“Terserah kamu”

Maka mulailah aku menyusun jadwal wawancaranya, mulai lusa, hari rabu sampai jum’at dari jam 07.00 sampai 10.00 pagi.

Toni menyetujuinya, kemudian aku permisi pulang.

Dalam perjalanan pulang, hatiku sangat senang, sudah terbayang nikmatnya tubuh Mbak Nida itu.

Sesampainya di kos-kosanku, aku langsung bertemu dengan Mas Arif di tempat cuci, tampak Mas Arif sedang menyuci bajunya.
“Mas.......saya ingin bicara se-bentar” kataku mulai membuka percakapan.

Mas Arifpun menoleh dan menghentikan pekerjaannya.
“Ada apa Bud ?”

“Begini.......saya dengar Mas Arif mencari pekerjaan, kebetulan tadi saya ke tempat teman saya, dia perlu pegawai baru, dianya sih malas menaruh iklan di koran, soalnya dia hanya butuh satu orang” jawabku panjang lebar menjelaskan. Sedikit berdebar-debar aku menunggu tanggapan, takut tawaranku ditolak.

Lama Mas Arif kulihat terdiam, merenung, lalu

“Hmmm....saya pikir dulu, sebelumnya terima kasih ya ?!”
“Ya Mas” kataku dengan senyuman.

Dalam hatiku, aku berpikir “Habislah sudah kesempatanku !”

Tapi setelah di dalam kamar, sekitar 2 jam kemudian aku yang tertidur, terbangun oleh ketukan di pintu. Aku lalu bangun, mengucek-ngucek mataku, melihat dari jendela. Tampak Mas Arif berdiri menunggu. Akupun cepat-cepat membuka pintu

“Wah..sedang tidur ya, kalau gitu nanti saja” Mas Arif tiba-tiba permisi.
“Eee....nggak..nggak koq Mas, saya sudah bangun nih” kataku berusaha mencegah Mas Arif pergi.
“Gangguin tidur kamu nggak ?”
“Ndak...ndak kok, masuk aja” kataku mempersilahkan.
Setelah kami berdua duduk di karpet kamarku,
“Begini, ini soal lamaran kerja yang kamu bilang itu, tempatnya di mana sih ?” Mas Arif bertanya.

“Ooo...itu di Kaliurang km 7 nomor 14, nama perusahaannya DHL, nggak jauh kok”
“Syaratnya gimana ?”
“Saya kurang tau juga tuh, Mas Arif pergi saja ke sana. temui teman saya, Toni, katakan Mas butuh pekerjaan, tahunya dari Budi”
“Wah...kok rasanya kurang enak ya, seperti nepotisme saja” Mas Arif sepertinya keberatan.
“Enggak....nggak... koq, perusa-haannya besar, Mas ke sana juga belum tentu diterima, Mas tetap melalui tes dulu” kataku meya-kinkan Mas Arif.
“Hmmm...baiklah, tak coba dulu, jam berapa ya ke sana ?”
“Sekitar jam kerja saja baiknya, jam 07.00 pagi saja” kataku me-nyarankan.

Mas Arif hanya mengangguk tersenyum, lalu permisi seraya tak lupa berterima kasih kepadaku. Aku hanya tersenyum, berarti selangkah lagi keinginanku tercapai.

*****************

Hari ini selasa, sesuai pre-diksiku, Mas Arif pagi-pagi sudah berangkat, dan sekitar jam 11.00 siang baru pulang.

Aku menuju ke kamarnya, lalu mengetuk pintu,

“Assalamu’alaikum” aku mem-beri salam.
“Wa’alaikumussalam” terdengar jawaban Mas Arif dari dalam kamarnya.

Lama baru pintu dibuka, dan Mas Arif mempersilahkanku un-tuk masuk. Kulihat di dalam ka-marnya, istrinya tengah duduk di pinggir tempat tidur dengan me-makai jilbab putih, tersenyum padaku. Mbak Nida tampak cantik sekali.

“Bagaimana Mas, tadi ?” ta-nyaku
“Oh...nanti saya disuruh ke sana lagi, besok untuk test wawancara”
“Alhamdulillah, tak do’ain supa-ya berhasil”
“Terima kasih”

Setelah berbasa - basi cukup lama, akupun permisi.
“Eehh...nanti dulu, kamu khan belum minum” Mas Arif berusaha mencegahku.
“Ayo Nida buatkan air minumnya dong” perintah Mas Arif me-nyuruh istrinya, Mbak Nida.

Aku menolak dengan halus,
“Ah nggak usah Mas, saya sebentar aja koq, ada urusan”
“Oh baiklah kalau begitu, sekali lagi terima kasih ya”

Aku tersenyum mengangguk, kulihat Mbak Nida tidak jadi membuat minuman. Akupun pergi ke ka-marku, riang karena sebentar lagi “adikku” akan bersarang dan me-nemukan pasangannya.

*****************

Hari ini rabu, Mas Arif sudah berangkat dan meninggalkan Mbak Nida sendirian di kamarnya. Ren-cana mulai kulaksanakan. Aku membongkar beberapa koleksi Vcd pornoku, memilih salah satunya yang aku anggap paling bagus, Vcd porno dari Indonesia sendiri, lalu membungkusnya dengan kertas merah jambu.

Kemudian sambil membawa bungkusan Vcd itu, aku menuju ke kamar tetanggaku, mengetuk pintu,

“Assalamu’alaikum” aku mem-beri salam.

Lama baru terdengar jawaban,

“Wa’alaikumussalam” jawaban Mbak Nida dari dalam kamar itu.

Pintunyapun terbuka, kulihat Mbak Nida melongokkan kepalanya yang berjilbab itu dari celah pintu,

“Ada apa ya ?” tanyanya.
“Ini ada hadiah dari saya, saya mau memberikan kemarin tetapi lupa” kataku sambil menunjukkan bungkusan Vcd itu.
“Oh, baiklah” kata Mbak Nida sambil bermaksud mengambil bungkusan di tanganku itu.
“Eee...tunggu dulu Mbak, ini isinya Vcd, saya mau lihat apa bisa muter nggak di komputernya Mas Arif” kataku mengarang alasan.

Sedikit keberatan kelihatannya, akhirnya Mbak Nida mempersi-lahkanku untuk masuk, aku yakin dia juga kurang ngerti tentang komputer.

Di dalam kamar, aku menghi-dupkan komputer dan mengope-rasikan program Vcd playernya, lalu kumasukkan Vcd-ku itu dan kujalankan. Sesuai dugaanku Vcd itu berjalan bagus.

“Mbak pingin nonton ?” tanyaku sambil melihat Mbak Nida yang sedari tadi duduk di belakang memperhatikanku.
“Film apa sih ?” tanya Mbak Nida kepadaku.
“Pokoknya bagus” jawabku sambil kemudian memberikan pe-tunjuk bagi Mbak Nida , bagaimana cara menghentikan player dan mematikan komputernya.

Mbak Nida hanya mengangguk, lalu kupermisi untuk pergi mum-pung filmnya belum masuk ke bagian “intinya”.

Pintu kamar tetanggaku itupun kembali ditutup, aku bergegas ke kamarku, mau mengintip apa yang dilakukan Mbak Nida.

Setelah di kamarku. melalui ven-tilasi kulihat Mbak Nida menonton di depan komputer. Dia tampaknya kaget begitu melihat adegan porno langsung hadir di layar monitor komputer itu. Dengan cemas aku menantikan reaksinya.

Menit demi menit berlalu hingga sudah 15 menit kulihat Mbak Nida masih tetap menonton. Aku senang berarti Mbak Nida menyukainya.

Lalu terjadi sesuatu yang lebih dari aku harapkan, tangan Mbak Nida pelan masuk ke dalam roknya, dan bergerak-gerak di dalam rok itu.

“Hhh.....hhhh....oohhh.....oohhh”suara Mbak Nida mendesah–desah , tampaknya merasakan kenikmatan.

Aku kaget,

“Wah....hebat....dia masturbasi” kataku dalam hati.

Ingin aku masuk ke kamar Mbak Nida, memeluknya dan langsung menyetubuhinya, tetapi aku sadar, ini perlu proses.

Akhirnya aku memutuskan untuk tetap mengintip, dan berinisiatif mengukur kemampuanku. Akupun mulai melakukan onani dengan memain-mainkan penisku.

Film di komputer itu terus berjalan...... hingga telah hampir 1,5 jam lamanya, pertanda film itu akan habis dan Mbak Nida kulihat sudah empat kali orgasme, luar biasa. Dan ketika filmnya berakhir, Mbak Nida ternyata masih me-neruskan masturbasinya hingga menggenapi orgasmenya menjadi lima kali.

“Akkkhhhhhhh.........” Mbak Nida terpekik pelan menandai orgasmenya.

Sesaat setelah orgasme Mbak Nida yang kelima akupun ejakulasi.

“Oooorghhhh.........” suara berat-ku mengiringi luapan sperma di tanganku.

Aku senang sekali, berarti aku lebih tangguh dari Mas Arif dan bisa memuaskan Mbak Nida nan-tinya karena bisa orgasme dan ejakulasi bersamaan.

Kemudian Mbak Nida sesuai petunjukku, kulihat mengeluarkan Vcdnya dan mematikan komputer.

*****************

Setelah siang hari, Mas Arif baru pulang. Sedikit berdebar-debar aku menunggu perkem-bangan di kamar tetanggaku itu, takut kalau - kalau Mbak Nida ngomong macam - macam soal Vcd itu, bisa berabe aku !

Tetapi lama.....kelihatannya tak terjadi apa-apa. Kembali aku me-ngintip lewat ventilasi, apa yang terjadi di sebelah.

Begitu aku mulai mengintip, aku kaget ! Karena kulihat Mbak Nida dalam keadaan hampir bugil, hanya memakai celana dalam dihimpit oleh Mas Arif, mereka bersetubuh ! Namun seperti yang dulu-dulu, permainan itu hanya berlangsung sebentar dan tampaknya Mbak Nida kelihatan tidak menikmati dan tidak bisa mencapai orgasme. Bahkan aku melihat Mbak Nida seringkali kesakitan ketika penetrasi atau ketika payudaranya diremas.

“Ah...Mas Arif nggak pandai merangsang sih”, pikirku.

Bagaimanapun aku senang, langkah keduaku berhasil, mem-buat Mbak Nida tidak bisa lagi men-capai orgasme dengan Mas Arif. Prediksiku, Mbak Nida akan sangat tergantung pada Vcd itu untuk kepuasan orgasmenya, sedangkan cara menghidupkan Vcd itu hanya aku yang tahu, disinilah kesem-patanku.

*****************

Kamis, pukul 08.00. Aku bangun dari tidur, mempersiapkan segala sesuatunya, karena hari ini bisa jadi saat yang sangat bersejarah bagiku. Kemarin aku telah meng-intip Mbak Nida dan Mas Arif seharian, mereka kemarin ber-setubuh hanya dua kali, itupun berlangsung sangat cepat, dan yang penting bagiku, Mbak Nida tidak bisa orgasme.

Malam kemarin aku juga sudah bersiap-siap dengan minum se-gelas jamu kuat, yang bisa menambah kualitas spermaku.

Pagi itu, setelah aku mandi, aku berpakaian sebaik mungkin, parfum beraroma melati kuusapkan ke seluruh tubuhku, rambutku juga sudah disisir rapi. Lalu dengan langkah pasti aku melangkah ke tetangga sebelahku, Mbak Nida yang sedang sendirian.

Kembali aku mengetuk pintu kamarnya pelan,

“Assalamu’alaikum” aku mem-beri salam.
“Wa’alaikumussalam” suara lem-but Mbak Nida menyahut dari dalam kamar.

Mbak Nidapun membuka pintu, kali ini ia berdiri di depan pintunya, tidak seperti kemarin yang hanya melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Dia memakai jilbab pink dengan motif renda, manis sekali.

“Oh ya, saya lupa membe-ritahukan cara menghidupkan Vcd kemarin” kataku sambil tersenyum.

Tiba-tiba raut muka Mbak Nida menjadi sangat serius,

“Kamu kurang ajar ya, masa’ ngasiin Vcd porno gituan ke Mbak” kata Mbak Nida sedikit keras.

Aku kaget, “ternyata ia marah”, pikirku. Lalu cepat aku mengarang alasan,

“Oh ma’af Mbak, Vcdnya yang hadiah itu, isinya film soal riwayat Nabi-Nabi buatan TV3 Malaysia, ma’af kalau tertukar, yah saya ambil saja lagi”

Mbak Nida masuk ke dalam kamarnya, ia tampak kecewa, aku senang berarti ia takut kehilangan Vcd itu. Lalu akupun masuk ke kamarnya melalui pintu yang sedari tadi terbuka.

Mbak Nida kaget, melihatku mengikuti langkahnya,

“Eeeh...kamu kok ikut masuk juga ?!”

Sambil menutup pintu, tenang aku menjawab,

“Alaa....Mbak jangan munafiklah, tokh Mbak juga menyukai Vcd porno itu, saya lihat Mbak sampai masturbasi segala”
“Kurang ajar kamu ! Keluar ! Kalau tidak saya akan berteriak” bentak Mbak Nida.
“Mbak jangan marah dulu, coba Mbak pikirkan lagi, sejak menonton Vcd itu, Mbak tidak bisa lagi orgasme dengan Mas Arif khan” kataku sambil merebut Vcd itu dan mematahkannya.

Mbak Nida terkejut,

“Kamu.....”

Tak sempat ia menyelesaikan kata-kata, aku memotongnya,

“Saya bersedia memberikan kepuasan kepada Mbak Nida, saya jamin Mbak Nida bisa orgasme bila main dengan saya”
“Kurang ajar ! Keluar kamu !”
“Eeee....tidak segampang itu, ayolah Mbak Nida jangan marah, pi-kirkan dulu, saya satu-satunya ke-sempatan, bila Mbak Nida tidak me-makai saya, seumur-umur Mbak Nida nggak akan pernah mencapai orgasme lagi” aku mulai meng-hasutnya.

Mbak Nida terdiam sebentar, aku senang dan berpikir ia mulai termakan rayuanku, tapi...

“Tidak ! Kata Mbak tidaaak ! Sekarang keluar kamu !”

Aku gemetar, tapi tetap ber-usaha,

“Mbak sebaiknya pikirkan lagi, di sini cuma saya yang mengajukan diri memuaskan Mbak, saya satu-satunya kesempatan Mbak, kalau Mbak tidak mengambil kesempatan ini, Mbak akan rugi !” kataku sedikit tegas.

Lama kulihat Mbak Nida terdiam, bahkan dia kini terduduk lemas di samping ranjangnya. Aku pura-pura mengalah...

“Yah, sudahlah, jika Mbak tidak mau, saya pergi saja, saya itu cuma kasihan ngelihat Mbak !” kataku sambil beranjak pergi.

Tetapi kulihat Mbak Nida hanya diam terduduk di ranjangnya, aku membatalkan niatku, pintu yang telah terbuka kini kututup lagi dan kukunci dari dalam. Perlahan aku mendekati Mbak Nida, kulihat ia menangis,

“Mbak....jangan menangis, tidak ada maksud saya sedikitpun menyakiti Mbak” kataku sambil mulai menyeka air matanya dengan tanganku.

Lalu pelan-pelan kupegang pun-dak Mbak Nida dan kudorong pelan dia agar berbaring di ranjang. Ter-nyata Mbak Nida hanya menurut saja, aku kesenangan, rayuanku berhasil meruntuhkan pendiriannya.

Kemudian aku mulai membuka resleting celana panjangnya, ia tampaknya menolak, tetapi aku dengan santai menepis tangannya dan memasukkan tanganku ke dalam celananya. Tanganku masuk kedalam kolornya, lalu langsung jariku menuju ke tengah “lubang” birahinya. Aku sudah terburu nafsu, mencucuk-cucukkan jemariku ke dalam lubang itu berkali-kali.

“Akhhh.....akhhh.......ahhhhhh” desahan Mbak Nida mengiringi setiap tusukan jemariku.

Aku ingin membuatnya terang-sang dan mencapai orgasme. Lalu dengan cepat kutarik celana pan-jang dan kolornya, sehingga terlihatlah pahanya yang putih dan mulus, aku langsung mencium paha mulus itu bertubi-tubi, menjilat paha putih Mbak Nida dengan merata. Akupun mengincar kelentit Mbak Nida yang tersembul ke luar dari bagian atas pepeknya.

Langsung aku kulum kelentit itu di dalam mulutku,

“Elmm.....mmmm.......emmmm” dan lidahku menari-nari di atasnya, terkadang kugigit pelan-pelan berkali-kali,
“Akhh....ooohhhh......aaahhhhh” suara Mbak Nida mendesah kuat tanda terangsang.

Jemari tanganku semakin kuper-cepat menusuk pepek Mbak Nida dan lidahku makin menggila menari-nari di atas kelentitnya yang berwarna merah jambu itu.

Perlahan kubimbing Mbak Nida mencapai puncaknya, hingga akhirnya......

“Aaaaaaakkkhhhhhh............” pekikan pelan Mbak Nida mengiringi orgasmenya.

Kulihat jemari tanganku basah, bukan karena liurku tetapi karena cairan vagina Mbak Nida yang orgasme. Aku mencium vagina itu, tercium bau khas cairan vagina wanita yang orgasme.

Aku tersenyum, hatiku senang karena bisa membawa Mbak Nida mencapai orgasmenya. Tetapi aku tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah memelankan tusukan jariku, kini tusukan itu kembali kupercepat,

“Ahhh....ahhhh....yaah.....yaahh” suara Mbak Nida mulai meracau.

Sementara tangan kiriku beroperasi di vagina Mbak Nida, tangan kananku mulai meremas blus Mbak Nida, dengan cepat tangan kananku merobek blus itu dan menarik kutangnya hingga menyembullah payudara Mbak Nida yang indah membukit.

Kemudian aku menghisap kedua puting itu sambil tangan kananku meremas payudara Mbak Nida bergantian,

“Slurrpp....slrrrrpp.....slluuurpp” aku menghisap puting Mbak Nida, sementara desahan Mbak Nida terdengar halus di telingaku,

“Akhh....teruuss.....teruuusss” Sementara tangan kiriku tetap beraksi di vagina Mbak Nida, dan vagina itu semakin becek,
“Crrtt.....crrtt......slrrpp”

Kini mulutku mulai merangkak maju menuju bibir Mbak Nida yang mendesah-desah, begitu wajah kami bertatapan, kulumat bibir mungil itu dalam-dalam, Mbak Nida sedikit kaget,

“Ohhh....oomlmmm...elmmmm” Mbak Nida tidak bisa lagi bersuara, karena bibirnya telah kulumat, lidahnya kini bertemu dengan lidahku yang menari-nari.

Aku memang berusaha mem-bimbing Mbak Nida agar orgasme untuk kedua kalinya. Agar di saat orgasmenya itu aku bisa me-masukkan penisku, mempenetrasi vaginanya. Karena aku sadar penetrasi itu akan sangat sakit karena ukuran penisku lebih besar dari punya Mas Arif yang biasa masuk.

Sambil mencium dan merang-sang pepek Mbak Nida, tangan kananku mulai melepas celana panjangku dan kolorku, lalu melem-parkannya ke lantai. Tangan kananku mengelus-elus kontolku yang terasa mulai mengeras.

Lama akhirnya Mbak Nida mencapai orgasmenya yang kedua kali,

“Ooorrggghhhhh...........”

Mbak Nida mengerang, tetapi belum selesai erangannya, aku langsung menusukkan penisku pelan-pelan ke dalam vaginanya.

“Aaaaaahhhhh............” suara Mbak Nida terpekik, matanya sayup-sayup menatap syahdu ke arahku, aku tersenyum.

Akupun mengambil posisi duduk dan mengangkangkan kedua paha Mbak Nida dengan kedua tanganku, lalu kulakukan penetrasi kontolku pelan-pelan lama kelamaan men-jadi semakin cepat. Bunyi becekpun mulai terdengar,

“Sllrrttt...cccrrttt....ccrrplpp” suara becek itu terus berulang-ulang seiring dengan irama tusukanku.

“Akhhh....yaaahh...terus...” suara desahan Mbak Nida keenakan. Akupun semakin mempercepat tusukan, kini kedua kakinya ku-sandarkan di pundakku, pinggul Mbak Nida sedikit kuangkat dan aku terus mendorong pinggulku ber-ulang-ulang. Sementara dengan sekali sentakan kulepaskan jilbabnya, tampaklah rambut hitam sebahu milik Mbak Nida yang indah, sambil menggenjot aku membelai rambut hitam itu.

“Ahhh.....ahhh....aaahhh”
“Ohhh......ohhhh........hhhh”

Suara desahanku dan Mbak Nida terus terdengar bergantian seperti irama musik alam yang indah.

Setelah lama, aku mengubah posisi Mbak Nida, badannya kutarik sehingga kini dia ada di pangkuanku dan kami duduk berhadap-hadapan, sementara penisku dan vaginanya masih menyatu.

Tanganku memegang pinggul Mbak Nida, membantunya badannya untuk naik turun. Kepalaku kini dihadapkan pada dua buah pepaya montok nan segar yang ber-senggayut dan tergoyang-goyang akibat gerakan kami berdua. Langsung kubenamkan kepalaku ke dalam kedua payudara itu, menjilatnya dan menciumnya ber-gantian.

Tak kusangka genjotanku membuahkan hasil, tak lama.....

“Oooohhhhhhh.................” lenguhan panjang Mbak Nida menandai orgasmenya, kepalanya terdongak menatap langit-langit kamarnya saat pelepasan itu terjadi.

Aku senang sekali, kemudian kupelankan genjotanku dan akhirya kuhentikan sesaat. Lama kami saling bertatap-tatapan, aku lalu mencium mesra bibir Mbak Nida dan Mbak Nida juga menyambut ciumanku, jadilah kami saling berciuman dengan mesra, oh indahnya.

Tak lama, aku menghentikan ciumanku, aku kaget, Mbak Nida ternyata menangis !

“Kenapa Mbak Nida ? saya me-nyakiti Mbak ya ?!” tanyaku lembut penuh sesal.

Masih terisak, Mbak Nida menjawab,

“Ah.....nggak, kamu justru telah membuat Mbak bahagia”

Kami berdua tersenyum, ke-mudian pelan aku baringkan Mbak Nida. Perlahan aku mengencangkan penetrasiku kembali.

Sambil meremas kedua payu-daranya, aku membolak-balikkan badan Mbak Nida ke kiri dan ke kanan. Kami berdua mendesah bergantian,

“Ahhh.....ahhh....aaahhh”
“Ohhh......ohhhh........hhhh”

Terus....lama, hingga akhirnya aku mulai merasakan urat-uratku menegang dan cairan penisku seperti berada di ujung, siap untuk meledak.

Aku ingin melakukannya ber-sama dengan Mbak Nida. Untuk itu aku memeluk Mbak Nida, menciumi bibirnya dan membelai rambutnya pelan. Usahaku berhasil karena perlahan Mbak Nida kembali terang-sang, bahkan terlalu cepat.

Dalam pelukanku kubisikkan ke telinga Mbak Nida,

“Tahan......tahan.........Mbak, kita lakukan bersama-sama ya”

“Ohhh...ohhh....ohhhh.....aku su-dah tak tahan lagi” desah Mbak Nida, kulihat matanya terpejam kuat menahan orgasmenya.

“Pelan.....pelan saja Mbak, kita lakukan serentak” kataku membisik sambil kupelankan tusukan penisku.

Akhirnya yang kuinginkan ter-jadi, urat-urat syarafku menegang, penisku makin mengeras. Lalu sekuat tenaga aku mendorong pinggulku berulang-ulang dengan cepat.

“Akhhh....ooohhh....ohhh” suara Mbak Nida mendesah. Kepalanya tersentak-sentak karena dorongan penisku.

“Lepaskan.....lepaskan......Mbak, sekarang !” suaraku mengiringi de-sahan Mbak Nida, Mbak Nida menuruti “saranku”, diapun akhirnya mele-paskan orgasmenya,

“Aaaakkhhhhh............”

“Ooorggghhhhh.........” suara be-rat menandakan ejakulasiku, meng-iringi orgasme Mbak Nida. Erat ku-peluk ia ketika pelepasan ejakulasi itu kulakukan.

Setelah “permainan” itu, dalam keadaan bugil aku tiduran ter-lentang di samping Mbak Nida yang juga telanjang. Mbak Nida me-melukku dan mencium pipiku berkali-kali seraya membisikkan sesuatu ke telingaku,

“Terima kasih Bud”

Mbak Nida kulihat senang dan memeluk tubuhku erat, tertidur di atas dadaku. Dalam hatiku aku merasakan senang, gembira, tapi juga sedih. Aku sedih dan me-nyesal melakukan ini dengan Mbak Nida, aku takut ia tidak akan pernah lagi mencapai orgasme selain de-ngan diriku, ini berarti aku me-nyengsarakan Mbak Nida. Selesai



cerita dewasa

Sepotong Cinta Di Hutan Karet

Chapter 1

Hujan begitu deras sore ini. Istriku, wanita sederhana yang kunikahi 3 tahun yang lalu nampak asyik menekuni kegemarannya mengisi TTS. Ah, mengapa setiap memandang wajah sederhananya selalu terbersit perasaan bersalah? Mengapa tidak bisa kuberikan seluruh cintaku padanya? Hujan memang bangsat. Setiap titik airnya selalu menggoreskan rinduku padanya. Istriku? Bukan, Neva. Wanita yang selama sepuluh tahun ini dengan setia mengisi satu pojok hatiku. Wanita yang selalu membuatku merasa bersalah pada istriku.

Perkenalan pertamaku dengannya terjadi sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu aku harus mengikuti KKN dari universitas paling ternama di Yogyakarta. Pertama kali kenal, aku tidak peduli karena waktu itu aku baru putus dari pacarku. Bayangkan saja 4 tahun aku pacaran dan dia memutuskanku begitu saja. Neva bertubuh sedang, rambut dipotong pendek ala Demi Moore, wajahnya lumayan manis. Tapi yang paling menarik adalah sinar matanya yang hangat, tulus , bersahabat dan selalu tertawa. Seminggu orientasi aku masih tidak begitu peduli bahkan sering terganggu dengan gaya ketawanya yang begitu spontan. Kebetulan kami satu regu.

"Mas.. mau kopi?" sapaan istriku membuyarkan lamunanku ttg Neva. Dengan cepat aku mengangguk. Entah mengapa aku kesal karena lamunanku terhenti.

"Aduh... Yok... bagus ya desanya... Uih... kayak negeri para dewa," Neva spontan berkomentar saat kami tiba di desa yang terletak di lereng Merbabu. Hm.. bener juga gumanku. Tempat regu kami tinggal adalah rumah kosong di pinggiran hutan karet. Tiap pagi embun turun dan menari di sela-sela hutan karet itu dimana sinar matahari dengan lembut menyeruak di antaranya. Dan setiap bangun pagi, aku selalu dikejutkan senyum Neva sambil menyeruput kopinya (entah jam berapa dia bangun pagi).
"Pagi.. Yok! uh... tadi bagus deh..." dan berceritalah dia tentang kegiatan jalan-jalan paginya.

Entah, akhirnya setiap pagi kami selalu bercerita tentang bayak hal sambil menikmati kopi. Baru kusadari wanita ini di samping begitu mandiri dia juga cerdas luar biasa. Dia bisa bercerita mulai dari Nitsche, harga saham, Picasso, Pink Flyoid sampai kemiskinan. Yang luar biasa dia ternyata pernah mendapat beasiswa pertukaran pelajar, pinter main piano dan bekerja part time (meski dia berasal dari keluarga yang cukup berada). Aku semakin suka berada di sampingnya.
Di mataku kecerdasannya membuat dia begitu menarik, cantik dan seksi. Hingga suatu malam saat kami ngobrol berdua saja di teras dia mengejutkanku dengan pernyataannya, " Yok... aku ini sudah nggak perawan." Aku begitu terkejut, bagi orang sepertiku yang dididik sejak kecil bahwa seorang wanita harus menyembunyikan emosinya, pernyataan seperti ini begitu mengguncang emosiku
"Ya... Tuhan... wanita seperti ini yang aku cari..." seruku dalam hati. Betapa jujurnya dia.
Dia bercerita tentang rasa cintanya yang begitu besar pada pacarnya, kesedihannya karena pacarnya tak pernah memintanya menjadi istrinya meski mereka telah pacaran hampir 6 tahun. Tanpa kutahu pasti, aku telah jatuh cinta padanya dan yang menyedihkan aku tidak berani menyatakannya. Aku nikmati saja hari-hari KKN ku. Kami main air di sungai, jalan-jalan. Setiap pacarnya datang, kutekan rasa cemburuku dan sakitku bahkan aku dengan gaya yang sok berbesar hati sering mengantarnya ke terminal untuk pulang menengok pacarnya. Setiap kali sehabis pulang, dengan gaya lucunya dia bercerita tentang persetubuhannya dengan pacarnya. Neva... tahukah kau aku mencintaimu?

Sampai suatu hari, aku dan dia pergi ke kota asalku Solo untuk mencari sponsor bagi pasar murah yang akan kami selenggarakan. Tanpa terasa kami kemalaman.
"Nev... kita nginap di rumah ibuku yuk?"
Sungguh! Waktu itu aku tidak punya pikiran apapun. Dan seperti yang sudah kuduga, keluargakupun sangat menyukainya. Bahkan ibuku bilang, "Dia lain ya sama Rini? Anaknya ramah dan baik". Ah.. betapa inginnya aku bilang, "Dia wanita yang kuinginkan jadi istriku, bu".
"Yok... aku tidur dimana?" tanya Neva.
"Dikamarnya Iyok aja, nak. Itu di kamar depan." ibuku begitu bersemangat menata kamarku.
"Wah... ntar Iyok tidur dimana?"
"Biar tidur di sofa ruang tamu".
Rumah ku memang agak aneh, hampir seluruh kamarnya ada di belakang, hanya kamarku yang terletak di depan.
Malam itu aku gelisah tak dapat tidur. Entah mengapa aku begitu rindu pada Neva. Gila! Padahal seharian tadi aku bersamanya. Seperti ada yang menggerakkan aku pergi ke kamarku di mana Neva tidur dengan memakai daster ibuku!. Nampak tidurnya begitu damai. Ya... ampun baru kusadari betapa besar cintaku padanya. Tanpa terasa aku belai pipinya dengan lembut. Dia menggeliat. Oh.. sungguh seksi sekali.
Tiba-tiba saja tanpa dapat kubendung kucium bibirnya dengan kelembutan yang tak pernah kuberikan dengan pacarku dahulu. Neva membuka matanya, dan baru kusadari betapa indah mata itu.
"Yok?"
Tapi dia tidak berbuat apa-apa. Kembali kukulum bibirnya, diapun menyambut dengan hangat ciumanku. Lidahnya bermain begitu luar biasa di lidahku. Tanpa terasa sesuatu yang keras menyembul dari balik celanaku. Kuciumi dengan hangat lehernya, dia menggelinjang geli. Dibalasnya ciumanku dengan ciuman lembut di leherku, turun ke dadaku. Lalu dengan gerakan yang begitu lembut, dilepasnya kaosku. Kubalas ciumannya dengan ciuman di dadanya. Ya... ampun... dia tidak memakai bra. Terasa putingnya mengeras dan dadanya begitu kencang. Tanganku masuk dari bawah dasternya. Ugh... dadanya begitu penuh. Gelinjangannya begitu mempesona. Dia begitu meenikmati sentuhanku. Tiba-tiba dia menggerang, " Don... ah...". Bagai tersengat listrik, kulepaskan cumbuanku. Ada rasa nyeri menyeruak di dalam dadaku. Dia menyebut nama pacarnya! Neva pun tersadar.
"Yok... maaf..." segera diambilnya kaosku.
"Pergilah... maaf... aku... aku... kangen sama Don". Diapun menundukan kepalanya. Mungkin orang menanggapku gila karena keterusterangannya justru membangkitkan gairahku. Entah aku begitu yakin akan perasanku padanya, rasa cintaku dan aku ingin dia memilikiku. Akan kuberikan keperjakaanku padanya. Ya... aku masih perjaka! Meski aku pacaran serius selama 4 tahun dengan Rini, aku adalah laki-laki yang begitu menghargai keperjakaan. Bahkan aku pernah bersumpah hanya kepada istriku akan kuberikan keperjakaanku. Seperti ada kekuatan gaib tiba-tiba aku bertanya.
"Nev... maukah kamu mengambil keperjakaanku?"
"Tapi... Yok?"
"Aku tidak peduli Nev... aku mencintaimu... aku ingin kamu yang mengambilnya... aku ingin kamu menjadi istriku" sambil kugenggam tangannya. Ada buliran air mengalir dari mata bulatnya. Neva hanya terdiam, dan dengan lembut diambilnya tanganku dan dibawanya ke dadanya.
"Kamu begitu tulus...Yok...". Hanya itu kalimat yang keluar dari mulutnya. Selanjutnya dia mencium bibirku, pertama lembut sekali tapi makin lama makin liar, dibaringkannya tubuhku di tempat tidur. Lidahnya menjilati belakang telingaku, turun.. keputingku... ke tanganku... lalu turun ke ibu jari kakiku.. ke.. atas... ke paha... ya ampun! Aku belum pernah melakukan ini. Dulu dengan Rini aku hanya melakukan sebatas `pas foto', itupun dengan baju yang terpakai. Tiba-tiba gigitan kecil dikelelakianku membuatku tersentak, dengan giginya, dibukanya celana pendekku, lalu celana dalamku. Ya.. aku telanjang bulat di hadapannya. Lalu dengan gerakan lembut dia membuka dasternya, lalu celana dalamnya. Aku masih dalam posisi terlentang.
Antara bingung dan gejolak yang luar biasa. Dengan senyum manisnya, Neva menjulurkan lidahnya ke arah lelakianku. Dimainkannya ujung lidahnya di pangkal kelelakianku. Aaggh... ya Tuhan... inikah Surga-Mu? Aku tak mampu berkata apa2 saat mulutnya mengulum kelelakianku sambil sesekali diselang-seling dengan mencepitkan buah dadanya.. Aku hampir saja tak kuat menahan lava di dalam kelelakianku. Tapi di saat aku hampir menyemburkannya, tangannya dengan lembut memijat pangkal kelelakianku itu. Ajaib, lava itu tak jadi keluar meski tetap bergejolak.
Demikianlah... hal tersebut dilakukannya berulang kali. Hingga dia berkata... "Yok... aku ingin memberimu hadiah yang tak kan kamu lupakan". Dia lalu duduk di atasku, tepat di atas kelelakianku.
Diambilnya kelelakianku terus dengan gerakan begitu lembut dimasukkannya ke dalam kewanitaanya. Ugh... ah.. erangannya begitu mempesona. Dan akupun memegang pantat bulatnya. Tapi segera dia berkata" Ssst... I will make you happy Yok!". Terus dengan gerakan memompa dan memutar, kurasakan seluruh darah mengalir ke bawah.
Keringat membasahai seluruh tubuhnya. Sambil berciuman kurasakan dia memompa kewanitaaanya. Lalu dicengeramnaya tubuhku kuat-kuat. Aggh.. agh... seluruh ototnya meregang. Putingnya tegak berdiri dan disorokannya ke mulutku. Lalu dengan keliaran yang tak kubayangkan sebelumnya kulumat habis puting itu sambil membalas pompaannya. "Ah... terus.. Yok.. terus... jangan berhenti" rangannya semakin mebuatku liar. "Lagi... Yok.. lagi... ini ketiga kalinya... ayo Yok..." Dan tanpa dapat kutahan lavaku menyembur. Neva segera menariknya keluar. Lalu dijilatinya cairan lava itu. Kenapa dia tidak jijik? Dengan senyum manisnya seakan dapat membaca pikiranku. "Nggak Yok... aku ingin membuatmu senang". Ya Tuhan, aku sangat terharu mendengarnya. Bagiku dia telah menjadi istriku. Malam itu, kami tiga kali bercinta dan ketiganya Neva yang `memberiku'. Hm... aku berjanji, suatu saat aku akan memberikan `sesuatu' yang sangat hebat...

"Mas... kopinya kan sudah dingin. Kok nggak diminum?" Ah...lagi-lagi sapaan istriku membuyarkan lamunanku. Neva... dimana kamu sekarang (istriku)?

Chapter 2

"Pada sepi yang tiba
Keyakinanku yang rapuh
Kuusik sendiri:
Wajahmu tak tahu berjanji
Dalam sinar baur kabur
Dan bunyi seretan sandal
Kusumpahi engkau
Yang terus membuntutiku
Membuntukan seluruh
perjalananku..."

Hutan karet itu masih seperti dulu. Bau tanah basahnya, getah karetnya, bahkan dangau tempat para pemanen karet beristirahatpun masih ada di tepinya. Neni istriku tampak sesekali merapatkan pegangannya di pinggangku. Langit sangat gelap, mendung menari dengan seenaknya dan membawa udara dingin menerpa perjalanan kami menuju rumah kepala desa tempatku dulu KKN dan motorku dengan usia rentanya nampak terpatah-patah mendaki jalanan yang berbukit. Ah, semoga kami belum terlambat menghadiri pemakaman kepala desa yang baik hati itu.

"Kenapa sih mas... motor butut ini nggak dijual saja. Beli motor Cina juga nggak apa-apa." keluh istriku.

Dan seperti biasanya aku hanya terdiam tak tahu bagaimana cara menerangkannya alasanku sesungguhnya
.
"Ha.. ha.. Yok... ini sih sepeda onthel bukan motor" tawa lepas Neva waktu motorku mogok di jalan dekat hutan karet itu saat itu.
"Biarin, kenapa kamu mau aku goncengin?" Aku pura-pura marah. Mendengar nada suaraku yang kelihatan kesal. Mata Neva yang bulat segera membelalak dengan lucunya.
"Ah.. kamu nggak asyik. Gitu aja marah" Dia gantian memberengut dan mulutnya terkatup rapat. Garis mukanya mengeras, dahinya mengrenyit. Lho? Aduh gimana nih? Sumpah, aku tidak bermaksud membuatnya tersinggung. Aku kelabakan
"Ngg... anu. Nev... aku... aku... maaf... tadi... ngg" Aku tidak bisa meneruskannya karena tak tahu harus bagaimana. Sungguh mengapa aku begitu takut membuatnya marah, takut dia tak mau lagi bersamaku. Saat aku bergulat dengan kekawatiranku, tiba-tiba sebuah ciuman mendarat di pipiku

"Mmuah!" Neva menciumku sambil terkekeh-kekeh geli karena berhasil mengecohku. Antara lega, kaget, senang dan malu. Terlebih beberapa penadah karet yang berpapasan dengan kami nampak jengah dan malu melihat kespontanannya yang tak bosan-bosannya memukauku.
"Nev.. sst.. ntar dilihat orang"
"Ha.. ha... biarin! ha.. ha... gotcha! Takut aku marah ya? He.. he..." Dia masih ketawa geli. Begitu menggemaskan, ingin rasanya kupeluk erat-erat. Segera kuusap-usap rambutnya yang mulai memanjang dan awut-awutan itu dengan penuh kasih.
"Sayang ya?" tanyanya manja (baru kusadar, dia tidak penah menampakkan kemanjaan ini kepada siapapun selama kami KKN. Beginikah dia sama Don? Persetan! Segera kuusir perasaan buruk ini). Kupandang dalam ke mata lucunya. Aku tahu pasti, dia bisa membaca apa yang terukir indah di dalam hatiku.
Hujan tumpah tanpa terbendungkan lagi. Angin menjadi semakin kencang seolah mengejek motorku yang semakin terseok.

"Nen.. kita berteduh di dangau itu saja" segera kupinggirkan motorku ke dangau di tepi hutan itu. Daun kelapa kering yang menjadi atapnya nampak koyak di beberapa bagian. Tapi masih lumayanlah di pojok sebelah kanan masih ada tempat yang kering.
Sebelum kami duduk di bangku bambu yang sudah tampak lusuh dan banyak sisa pohon kering, kubersihkan bangku itu dengan tanganku, dan dengan ketergesaanku itu mengakibatkan sebuah paku kecil yang menyembul menyayat jari telunjukku. Darah segar segera mengalir.

"Oouch!"
"Yok... aduh... tanganmu berdarah" Neva berteriak dengan kecemasan yang tak dapat disembunyikannya. Segera diambilnya jari telunjukku dan dikulumnya di bibirnya yang tak tersentuh lipstik. Pemandangan di depanku membuatku tak mampu berkata sepatah katapun. Begitu indah, begitu ingin kubekukan dan kubingkai selamanya. Rambut dan mukanya yang basah karena guyuran hujan membuat bibirnya sedikit kebiruan. Celana jeans dengan dengkul sobek plus kaos putihnya basah kuyup dan membuat lekukan di dadanya menjadi sangat jelas. Warna hitam dari branya memberi aksen pada lukisan indah dihadapanku ini. Dengan perlahan dan lembut dikulum dan disedotnya darah dari jariku. Kurasakan di ujung jariku kelembutan lidahnya menyentuh lukaku. Perih yang tadinya begitu kuat menggigit ujung jariku secara perlahan berganti menjadi kehangatan yang menjalari seluruh ujung kepekaanku. Masih kurasakan kebahagiaan yang kuperoleh beberapa hari yang lalu di rumahku saat kami menginap. Aku rindu sentuhannya, aku rindu....
"Nah... sudah mendingankan?" jariku yang dicabut dari mulutnya membuyarkan kenanganku. Ada sedikit rasa kecewa di perasaanku. Tapi rasa maluku mampu menekannya dalam-dalam. Entah, sejak kejadian di rumahku itu, aku merasakan kedekatan yang luar biasa di antar kami. Nevapun semakin jarang membicarakan Don, meski dihadapan teman-temanku seregu dia nampak dengan sengaja melontarkan kerinduannya pada kekasihnya itu dengan ujung mata yang sesekali mencuri pandang ke diriku. Kekasihnya? Siapa? Don? Aku? Aku takut dengan jawaban pertanyaan itu dan aku tidak pernah mempertanyakannya. Aku hanya yakin, Neva juga melakukannya dengan hatinya.

"Hey.. jangan melamun dong, Mas!" sapaan istriku lembut tapi kurasakan ada kejengkelan di dalamnya.
"Nggak... cuma hujan kayak gini pasti lama... kita terjebak di sini nih!" sambil kupeluk istriku.

Ada rasa syukur yang besar saat hujan turun dengan derasnya diiringi angin besar. Neva merapatkan duduknya sambil tak bisa menyembunyikan gigilan dingin yang menerpanya. Sepenuh hati segera kupeluk karunia indah ini dan kuberikan seluruh kehangatan jiwaku padanya. Kurasakan balasan pelukannya begitu lembut tapi tegas. Dengan rasa sayang yang luar biasa kucium rambut basahnya. Nampak dia terpejam menikmati rasa sayangku itu. Tanpa sadar kuteruskan ciumanku di telinganya, dia mengelinjang kegelian, kutelusuri belakang telinganya dengan ujung lidahku, kemudian lehernya. Dia lalu menengok dan dengan hangat diciumnya bibirku. Lidah-lidahnya bermain di rongga mulutku dan tangan kanannya mengambil tangan kiriku untuk diletakkan di atas dadanya. Hujan yang semakin deras melarutkan percumbuan kami.
Ditariknya mulutnya dari mulutku "Yok... tapi nggak usah main ya?". Dengan kelu kuanggukkan kepala. Neva kemudian pindah ke depanku menghadap ke arahku, bra hitam basahnya yang nampak samar di kaos basahnya tepat di hadapanku. Disorongkannya dadanya ke mulutku, segera kulumat kaos basah itu sambil mulutku sesekali menggigit lembut ke dua bukit indahnya. Sambil memekik kecil karena gigitan itu ditariknya kasonya ke atas, nampak bra hitamnya memiliki bukaan di depan. Dibukanya bukaan itu. Ya ampun, kedua bukit itu tegak berdiri dengan puncak hitamnya yang mengeras (entah karena kedinginan atau keinginan). Kulahap habis kedua puncak hitam itu bergantian. Kugigit-gigit lembut dan Nevapun mengelinjang kegelian. Kuremas-remas pantatnya yang tergolong besar itu sehingga dia dengan gerakan yang begitu ekspresif semakin menyorongkan dadanya ke mulutku. Kedua bukit itu makin keras. Tiba-tiba dengan gerakan yang agak kasar ditariknya kedua dadanya dari mulutku. Neva segera berjongkok, dibukanya risleting celana jeansku dan dikeluarkannya kelelakianku, segera dilumatnya kelelakianku dengan gerakan yang menagihkan. Digigit-gigit kecilnya ujung kelelakianku, ditelusurinya batang tubuhnya dengan ujung lidahnya hingga ke pangkal. Gelinjang sensasi kenikmatan yang kurasakan membuatnya mempercepat gerakan makan es krimnya. "Ugh... ah...... akhhhhhhhh... Nev.. ahhhhhhh" tak mampu aku berkata apa-apa. Lavaku sudah mendekati puncak dan Neva akan menekan pangkal batang kelelakianku bagian bawah, tiba-tiba...

Grung... grung... suara mobil membuat kami bagaikan kesetanan segera membenahi baju kami. Dengan napas tersengal, kami segera duduk sambil ngobrol yang tak jelas.
"Mbak.. Mas... bareng aja yuk?" pak lurah yang baik hati itu menghentikan mobil kijang bak terbukanya. Dengan senyum sedikit kecut kami terpaksa numpang mobil itu dengan motor tuaku nangkring di bak belakang.
"Nev.. aku pusing!" bisikku. Neva hanya mengangguk sambil jarinya meremas jemariku.
"Yah... memang hujan seperti ini membuat kita gampang masuk angin, pusing. Nanti sampai di rumah biar ibunya anak-anak bapak suruh ngerokin nak Iyok." Pak lurah yang baik hati itu dengan polosnya menyahut. Aku dan Nevapun berpandangan dengan senyum antara geli dan kecut.

"Kematian adalah tantangan,
kematian mempertegas kita untuk tida melupakan waktu,
kematian memberi tahu kita untuk saling mengatakan saat ini juga
bahwa.... kita saling mencintai..."

Rumah pondokan KKNku juga masih seperti dulu. Dinding batakonya, kedua kamarnya (satu untuk Neva dan Santi, sedangkan yang lainnya untuk Hendra, Made, Sugeng dan aku. Ah... teman-teman sereguku itu juga tak kuketahui rimbanya kini...) kini ditempati keponakan pak lurah yang baik hati itu. Rumah pak lurah hanya beberapa ratus meter dari rumah itu. Bu lurah dengan mata yang masih sembab menyambut kedatanganku dengan keharuan yang mendalam. Kukenalkan Neni, kemudian kusalami dia. Masih kurasakan kehangatan perhatiannya saat mengerokiku dulu ditangannya

"Makanya mas Iyok... mbok motornya diganti saja. Kalo gini kan kasihan mbak Neva nggak bisa nonton ke Salatiga sama mbak Santi dan yang lain. Mereka tadi nunggunya lama lo... mas Made yang ngusulin ninggal. Marah lo dia" sambil sesekali dipijitnya tengkukku. Sambil tersenyum menahan kerokan yang tak kuinginkan ini aku hanya diam saja. Kalau kutanggapi bisa-bisa sampai subuh bu lurah yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya ini tak bisa menghentikan obrolannya. Padahal aku begitu ingin segera kembali ke pondokanku menyusul Neva yang tapi pura-pura pamit menyelesaikan persiapan mengajarnya di SMP desa. Akhirnya siksaan kerokan itu berlalu, sambil pura-pura mengantuk karena Procold aku bergegas ke pondokanku.
"Nen.. ini kamarku dulu, dan yang itu kamar Santi dan Neva" waktu kusebut namanya ada kelu yang mnyekat di kerongkonganku. Untunglah keponakan pak lurah segera menyuruh kami minum teh hangat.
"Nev... mau teh hangat?" kuambilkan secangkir teh dari rumah pak lurah, jangan-jangan Neva sakit beneran? Ada rasa cemas yang menyusup saat aku masuk kamarnya dan kulihat dia meringkuk tak bergerak.
"Mau dong" sambil mengeliat bangun dari tidur ayamnya. Syukurlah, dia tak apa-apa. Sesaat setelah menghabiskan teh dia menengadah...
"Yok?" bisiknya
"Ya?"
"Selesain yuk?". Ah.. betapa inginnya aku agar Neni bisa mengutarakan keinginannya seperti dia.
Segera kukunci pintu depan. Dan dengan setengah berlari aku kembali ke kamar Neva. Begitu kubuka kamar, Neva ternyata telah menanggalkan seluruh celana pendek dan kaosnya. Hanya tinggal bra hitam dan celana hitamnya (aku tak tahu kenapa dia begitu tergila-gila warna hitam, hampir seluruh pakaian dalamnya hitam). Dengan reflek kubuka bajuku segera kutubruk dia. Neva sedikit meronta dan itu membuatku semakin bergairah. Tak tahu, rasanya kami terburu-buru, mungkin karena rasa takut ketahuan. Neva segera menanggalkan pakaian dalamnya dan segera memintaku untuk memasukkan kelelakianku di lubang kewanitaannya. Entah, aku justru menunduk dan kuciumi dengan lembut. Bau kewanitaan itu begitu khas, aku belum pernah membauinya. Dengan reflek kujilati pinggirannya dan benda kecil yang tampak memerah tegang ditengahnya. Neva mengelinjang dengan hebat tangannya sedikit menjambak rambutku dan membenamkan kepalaku semakin dalam ke lubang itu. Aku begitu menikmati permainan ini. Sumpah aku belum pernah melihat gambar atau film seperti ini. Semuanya kulakukan dengan reflek naluriku belaka. Lidah-lidahku semakin liar menari-nari di lubang itu dan kumasukkan semakin dalam dan dalam. Kedua tanganku ke atas memegang bukit indahnya yang semakin keras dan mengeras. Kupelintir kedua puncak hitamnya, kumainkan sampai kurasakan air semakin deras di kewanitaannya. Kujilati air itu, kuhisap, kutumpahi ludahku bercampur dengan air itu. Kuhisap lagi. Kedua puncak hitam bukit indahnya semakin keras kupelintir, kugemggam dengan liar kedua bukit itu, kuremas-remas, kuperas dan...
"aaaaaaaaahhhhh... oh yes... yes. uh...... ahhhh.." panggul Neva dengan sangat liarnya melakukan gerakan memompa. "Oooohhhhh... Yesss!!!!" dibenamkannya semakin dalam kepalaku ke dalamnya. Ya.. Tuhan.. begitu bahagianya diriku melihatnya begitu puas. Segera kucabut lidahku dan dengan ujung lidahku kujilati seluruh tubuhnya. Neva semakin menggelinjang, kulumat habis kedua bukit indahnya dengan puncak yag begitu keras. Ah... aku tak kuasa menahannya lebih lama dan...
Blesss!!! Kumasukkan kelelakianku ke dalam kewanitaannya. Dipegangnya kedua pantatku dan ditariknya ke dalam lubang itu semakin dalam. Sambil kulumati kedua bukit indahnya, kelelakianku terus mempa dengan rasa cintaku yang luar biasa.
"Yok... ayo... yok... ah... terus... terus.. oh yesssss!" saat itu kusemburkan lava kelelakianku di atas tubuhnya. Segera dioles-oleskannya ke seluruh tubuhnya. Ah betapa cantik dan seksinya dia...
Saat Santi dan teman-temanku pulang, Neva sudah tertidur kelelahan. Dan aku pura-pura nonton TV di rumah pak lurah. Waktu teman-temanku menceritakan betapa hebatnya film yg ditonton. Aku hanya pura-pura kesal dengan kebahagiaan yang tak terkira.

"Mas.. pulang yok.. udah sore nih..."
Angin senja membawaku kembali ke Solo sambil masih terngiang dengan jelas bisikan Neva sesudah mengakhiri permainan kami.

"aku ini badai dan samudera,
hutan tergelap dan pegunungan terjal dan liar.....
betapa inginnya kualamatkan selalu kerinduanku
pada tempat ini"

Chapter 3

Telah sebulan KKN selesai. Dan selama itu pula aku tidak bertemu dengan Neva. Rindu ini begitu mencabik-cabik pembuluh darah dalam nadiku dan mengakumulasi ke kelenjar otak. Bambang dan Panca, teman-teman sekontrakanku sampai heran dengan diriku yang tiba-tiba menjadi pemarah dan sensitif. Akhirnya aku ceritakan bahwa aku jatuh cinta dengan perempuan itu. Saat kutunjukkan fotonya, Panca begitu terkejut ternyata Neva teman basketnya di tim universitas. "Wah... kamu pinter milih, Yok! Kalo dia aku ya mau juga," jawabnya terkekeh

Aku tahu saat ini pasti Neva sedang ngebut nyelesain skripsinya. Dia pernah bilang dia harus selesai dalam hitungan 2 bulan. Benar-benar gila anak itu otaknya. Aku jadi malu ke diriku sendiri. Dibandingkan dia aku belum melakukan apa-apa dalam hidupku untuk diriku sendiri. Panca jadi heran dengan perubahanku yang begitu tiba-tiba. Aku jadi lebih sering mengerjakan proposal skirpsiku yang telah sekian lama terbengkelai. Jadi sering ke perpustakaan pusat (hm... siapa tahu Neva ke sana). Sudah beberapa kali aku coba ke rumahnya yang sangat besar di utara Yogya itu. Tapi mobil Don yang sering nongkrong di depan rumah itu membuatku kecul sendiri. Kamu memang pengecut Yok! Entahlah. Sampai suatu hari aku pergi ke perpustakaan dan wanita yang duduk tekun di pojok membuat wajahku pias. Neva? Dia duduk sambil memelototi buku the Trial-nya Frans Kafka (Pasti buat referensi skripsinya.)

Kacamata bacanya membuat wajahnya menjadi begitu menarik. Sosok kecerdasan yang luarbiasa digabung dengan keperempuanan yang menyihirkan.
Kudekati dia dan kusapa.
"Hei!"
"Hey!" jawabnya datar.
"Sedang apa?
"Berenang!" jawabnya seenaknya. Seharusnya aku tahu, aku tak bisa mengganggunya kalau sudah ada buku di tangannya. Biar ada bom meledakpun dia tak akan bergeming. Aku hanya terdiam memandangnya sambil berharap dia akan memandangku, tapi harapanku itu sia-sia. Dia tak bergeming sedikitpun. Sampai sebuah sosok laki-laki mendekat ke arah kami, Don!

"Hey.. Yok? sudah lama?" sapanya hangat Aku hanya mengangguk dengan senyum yang pasti begitu aneh. Neva segera bangkit. "Yuk Don pulang... pulang dulu ya Yok!" tanpa menunggu jawabanku dia mengeloyor pergi begitu saja. Aku hanya terbengong dan kelu.

Kriiing! Weker ayamku membangunkan tidur siangku. Dengan kecepatan kilat yang luar biasa aku mandi dan segera bergegas mengambil ranselku, Sialan, kenapa sih pak Sutoyo dosen pembimbingku bikin janji jam 4 sore gini. Saat membereskan laporan-laporanku si Bambang menggedor pintu kamarku. "Yok... aku berangkat dulu, pulangnya mungkin bulan depan," pamitnya. Ya ampun baru aku ingat sore ini dia mau ke Sulawesi mau melamar tunangannya.

" Ya... hati-hati... salam buat Tasya!".
Tak berapa lama kemudian pintuku mulai digedor lagi. Kenapa lagi sih ? "Ngapain Mbang? Ada yang ketinggalan?"
"Ngg... anu Yok ada tamu!"
Kenapa sih anak itu, ada tamu kok mbingungi. Segera kubuka pintu kamarku. Seolah-olah ada sebongkah besar batu menyekat tenggorokanku dan aku hampir tak bisa dibuat bernapas karenanya. Neva! Perempuan itu berdiri dengan kostum seperti biasanya, kaos dan jeans belel. Tapi di pundaknya ada ransel yang lumayan besar. Mau ke Merapikah?
"hey... boleh nginap di sini?" tanyanya cuek dan tanpa menunggu jawabanku dia langsung masuk kamar. Ah anak itu memang penuh dengan kejutan. Seperti orang linglung aku bahkan tak sempat mengenalkan Bambang yang terburu-buru pergi.
"Mama nyusul Papa ke New York. Don pergi ke Kalimantan. Ada riset di Kalcoal. Males di rumah. Sepi!" seolah-olah tahu keherananku dia merebahkan tubuhnya ke kasur yang tergeletak begitu saja di lantai. Anak tunggal pasangan dokter bedah ternama di kota ini memang paling takut sendiri di rumahnya yang super besar itu.
"Sampai kapan?" tanyaku sekenanya.
"Tahu! Mungkin sebulan. Kalo mama dan papa sih lima minggu. Soalnya mereka mau ke Eropa sekalian. Nengokin om Jon, adik mama di Paris. Kamu kalo mau pergi, pergi aja aku ngantuk!" dia lalu membalikkan tubuhnya . Kalau tidak ingat dosenku itu sangat susah ditemui, pasti kubatalkan kepergianku.

Sepanjang pertemuanku dengan pak Sutoyo, tidak sedetikpun konsentrasiku ke proposal yang aku bikin. Sialnya dosenku itu justru malah kuliah panjang lebar tentang teoriku yang salah. Saat sesi itu selesai, baru kusadar telah tiga jam aku meninggalkan Neva di rumah kontrakkanku. Bagaikan kesetanan aku memacu motor tuaku ke rumah kontrakkanku di daerah Mbesi sambil tak lupa menyempatkan di warung langggananku untuk 2 botol besar Coke dan seplastik es batu (minuman kesukaan Neva). Hm.. mengapa rumahku gelap? Pasti si Neva ketiduran. Kubuka gerendel, aku terkejut beberapa lilin menerangi kamar tamuku. Mati listrikkah? Sayup-sayup kudengar kaset Michael Frank dari kamarku. Lalu dengan pelan takut menganggu tidur perempuan itu kubuka kamarku. Dan pemandangan di kamarku membuat kedua mataku hampir keluar dari tempatnya karena ketakjubanku. Beberapa lilin yang mengapung di tembikar yang penuh dengan kemboja nampak menghiasi beberapa sudut ruangan. Spreiku telah diganti menjadi biru tua polos dan bertaburan melati dan bau dupa eksotis membuat kamarku demikian cozy. Beginikah honeymoon suite room? Neva dengan rok terusan selutut bertali dan sersiluet A tersenyum menyambutku. Kain rok itu begitu tipis dan ringan, warna putihnya mengingatkan aku pada turis-turis yang sering memakainya di Malioboro. Tampak kedua dadanya penuh dan kedua puncak hitamnya yang menonjol menyadarkanku bahwa dia tidak memakai bra hitam kesukaannya. Setangkai kamboja menyelip di telinganya. Ah... pantas bule-bule itu menyukai perempuan negeri ini. Ada satu karakter yang kuat memancar dengan dahsyatnya. Saat lagu "Lady wants to Know" mengalun, Neva memegang tanganku.
"Shall we dance?". Kuletakkan semua bawaanku begitu saja dan dengan ketakjuban yang masih menyelimuti perasaanku kusambut tangannya, kupeluk dia dengan kerinduan yang tak kunjung usai. Harum parfum Opiumnya Yves Saint Laurent semakin meempererat pelukanku. Sesekali kucium tangannya yang kugemnggam sangat erat. Kamipun terus berpelukan hingga satu lagu itu usai. Saat lagu kedua mulai, tiba-tiba perempuan itu mendongakkan kepalanya yang tadinya rebah di dadaku.

"Bercintalah denganku?
Setubuhi aku dengan jiwamu...
Bawalah aku ke dalam darahmu
Biarlah aku terus menjadi hantu yang selalu menghuni satu sudut ruang hatimu..." bisiknya lembut.

Kata-kata itu bagaikan sihir yang membutakan seluruh sendi kesadaranku. Tanganku turun dan dengan perlahan kusentuh dengan lembut kedua dadanya. Bibirnya yang penuh kukecup dengan penuh kasih lalu segera kulumat dan kuteruskan dengan penjelajahan ke lehernya dengan kecupan-kecupan hangat. Gigitan-gigitan kecil di dadanya terkadang membuatnya tersengat. Kain di dadanya segera basah oleh ciumanku dan kedua puncak hitamnya tegak berdiri di balik samar warna putih. Dengan kepasrahan yang penuh, perempuan itu kugendong ke ranjangku. Kubuka dengan perlahan bajuku dan dalam hitunga detik kami telah ada dalam kepolosan yang purba."Please... explore me!" rintihnya saat kujilati bibir kewanitaannya. Entah mengapa aku begitu kreatif saat itu. Segera kuambil ikat pinggangku dan kuikat kedua tangannya kebelekang lalu dia kududukkan sambil kututup mataku dengan syal batik ibuku yang selalu kubawa. Oh Tuhan (masih pantaskah aku menyebutNya?) betapa menggairahkan pemandangan di dekapanku. Kuambil bongkahan es batu dalam plastik dan kubanting ke lantai.

Gedubraaaak!

"Suara apa itu?" pekiknya kaget. Pertanyaan itu tidak kujawab dengan jawaban tetapi dengan ciuman liar dan hangat di bibirnya. Tanganku memegang sebongkah es batu dan kutelusuri seluruh tubuhnya dengan es itu dengan gerakan bagai lidah di tempat-tempat sensitifnya."Arrgh.. ah... ugh.. ugh!" dia menggelinjang dengan hebatnya karena sensasi itu. Saat kupermainkan bongkahan es di puncak hitamnya yang sangat kaku mengeras dia mengaduh "Uuuh... hisap... please!" rintihnya. Lalu kuhisap ke dua puncak itu sambil kugigit-gigit kecil. Gelinjangnya semakin liar. Lalu es itu kujelajahkan di atas kewanitaannya. Tanpa dapat dibendung lagi dia mengerang hebat dengan erangan yang tak pernah kudengar (ah mungkin waktu itu tempatnya tidak sebebas di kontrakkanku). "Arrgh.. uh.. oh... yessss... oh... ah.. great... baby..." saat es yg semakin kecil itu kumasukkan ke dalam kewanitaannya dan kumainkan bagai lidahku dia mengerang dan memohon untuk kusetubuhi dengan kelelelakianku.

"Please Yok... setubuhi aku.. ayo.... ah...." tapi aku tidak melakukannya, justru aku segera melumat kewanitaannya dengan lidahku. Karena kedua tangannya masih terikat dia tidak bisa memegang kepalaku untuk dibenamkannya ke kewanitaannya dan dia menggunakan kedua kakinya untuk menjepit tubuhku. Erangannya makin hebat saat kuhisap cairan di kewanitaannya, kujulurkan lidahku makin dalam... dan dalam...
"Aaaaaaaaargh!... argh....oh yesssssssssssssssss!" Kuhisap, kulumat dengan keliaran yang tak terkendali. Persetan dengan yang mendengar saat kudengar bunyi pintu terbuka. Itu pasti Panca. Benar, mungkin karena sungkan, dia segera masuk ke kamarnya. Erangan perempuan itu, semakin keras saat kutanamkan dalam-dalam kelelakianku ke lubang kewanitaannya.
"Oh yesssssssss!... arghhhhhh!" dia tak bisa bebas meronta, hanya panggulnya yang diangkatnya tinggi-tinggi untuk dibenamkan semakin dalam. Saat kubuka matanya dan talinya dia segera mendorongku hingga aku terjembab dan dicabutnya kewanitannya. Dia lalu jongkok di atas wajahku dengan posisi terbalik. Lalu dengan liar dihisapnya kelelakianku. Dikulumnya dalam-dalam, di saat yang bersamaan akupun bisa memainkan lidahku di kewanitannya.
"Ahh.. uh... ah..." begitu nikmat luar biasa, Kulumannya semakin liar di kelelakianku sambil sesekali digigit kecil pangkalnya. Kedua bukit indahnya yang menggantung segera kuremas dan kupilin keras.
"Auw...." Jerit kecilnya saat aku memilin putiknya terlalu keras. Neva semakin hebat mengulum kelelakianku sambil menggoyangkan kewanitaannya agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Lalu dengan waktu yang bersamaan kami mencapai sensasi erangan yang memekakkan.
"Aaargh... oh YESSSSSSSSS!" lava yang begitu deras keluar dari kelelakianku, segera direguknya cairan itu. Oh indah luar biasa... Tuhan.. aku begitu mencintainya. Dan malam itu kami terus bercinta hingga pagi menjelang.

Sudah hampir 2 minggu ini Neva tinggal bersamaku. Selama itu pula erangan-erangan dan lenguhan-lenguhan kami telah menjadi seuatu yang biasa di kontrakkanku. Setiap hari kami bercinta, terkadang pagi, siang dan setiap malam. Hampir seluruh sudut rumah ini telah sempat menjadi 'ranjang' kami (tentunya saat Panca pergi). Panca sudah terbiasa mendengar teriakan-teriakan kepuasan dari kamarku, bahkan kami terkadang berciuman dengan seenaknya di depannya. Pancapun hanya menggerutu, "Huh... jadi kambing congek nih..." Lalu kamipun hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku itu. Lalu dengan sekali pandang kami segera masuk kamar. Biasanya Neva masih sempat menggoda Panca dengan kenakalannya.
"Hey... jangan pengin lho Pan?"
"Huh cah edan!" sahabatku itu begitu pengertian sambil tetap bersungut dia masuk kamar sambil meneruskan gerutuannya:
"Tereaknya jangan kenceng-kenceng!" lalu erangan-erangan hasratpun kembali menguak di antara keringat-keringat kami. Hari-haripun berlalu demikian indahnya. Hingga suatu siang, saat aku pulang dari kampus aku begitu terkejut saat melihatnya berkemas.
"mau ke mana Nev...?"
"Pulang," Jawabnya pendek.
"Mama Papa udah balik?" dia hanya menggeleng.
"Besok Don pulang!"
Pyaaaar! Tiba-tiba kepalaku pening. Ada kemarahan yang tiba-tiba meyerang. Tidak, aku tidak marah kepadanya, aku hanya marah dengan situasi ini.
"Tinggallah bersamaku," pintaku. Kurasakan ada nada putus asa di dalamnya. Perempuan itu menggelengkan kepala.
"Tidak. Don akan marah kalau ke rumah aku nggak ada". Don, lagi-lagi Don!
Kenapa nama itu tidak hilang dari hatinya. Tidak puaskah dia dengan cintaku? Keputusasaanku akhirnya terakumulasi dengan kemarahanku. Kutarik tubuhnya ke pelukanku, kudekap tubuhnya kuat-kuat. Diapun mengejang dengan pandangan bingung. Tiba-tiba kudengar suaraku meninggi.
"Tidak! Kau harus tinggal!" melihat perempuan itu tetap menggeleng aku semakin tak terkendali. Yang ada di kepalaku cuma satu, dia harus jadi milikku, selamanya! Dan keluarlah kalimatku yang kusesali hingga saat ini:
"Jadi, kuanggap aku gigolomu. Harusnya kamu bayar aku mahal, Nev!"
Plaak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Kulihat kemarahan luar biasa di matanya. Badannya bergetar dengan hebat. Aku semakin kalap segera kugumul dan kutindih dia dengan tubuhku. Dia meronta dan akupun semakin marah. Segera kubuka celanaku dan kupelorotkan celana pendeknya sekaligus celana dalamnya. Lalu dengan kasar kusetubuhi perempuan kecintaanku itu dengan ganas. Neva berteriak kesakitan karena secara alami tubuhnya menolak. Tapi aku tidak peduli dan dengan sengaja kumasukkan dalam-dalam lava kelelakianku (selama ini aku tidak pernah memasukkan ke dalam kecuali dengan karet pengaman). Aku ingin dia hamil. Hanya itu satu-satunya cara untuk memilikinya.
"Oh..jangan..." Teriakannya semakin membulatkan niatku. Setelah semuanya selesai, baru kusadari ada buliran air mengalir dengan deras dari kedua mata indahnya. Ya... Tuhan Apa yang telah kuperbuat terhadap perempuan yang sangat kucintai dalam hidupku ini? Tanpa berkata sepatahpun dia segera meberei tubuhnya dan sambil membawa bawaannya dia pergi tanpa menoleh sedikitpun kepadaku. Siang itu di tengah guyuran hujan yang turun dengan tiba-tiba, menjadi saat terakhir aku melihatnya. Aku begitu sakit ....

Aku berusaha puluhan kali menemuinya ke rumahnya, tapi hanya pembantunya yang keluar dan bilang nonanya pergi atau seribu alasan lainnya. Nev... aku hanya minta maaf. Di hari wisudanyapun ternyata dia tidak datang. Aku semakin tenggelam dalam rasa bersalahku. Hingga suatu siang ada suara mengetuk. Nevakah? Begitu kubuka ternyata Don. Belum sempat aku bertanya sebuah pukulan mendarat di mukaku. Don hanya berkata lirih sambil melemparkan sepucuk surat, "Goblok! Kamu hampir memilikinya, tapi kamu sendiri yang merusaknya".
Sambil menahan perih kubaca surat itu. Surat Neva!

"Don-ku sayang...
Maafkan aku. Saat kau baca surat ini aku sudah di Paris, kebetulan om Jon nawarin aku tinggal di sana. Jadi sekalian aku ambil sekolah film sekalian. Maafkan aku tak sempat bilang padamu tentang keputusanku ini. Don, tadinya kamu adalah satu-satunya lelaki yang ingin kuberikan seluruh hidupku. Aku menjadi sangat terluka saat kamu tidak menginginkan anak dariku. Meski kamu akhirnya mau menikah denganku.... Tetapi ternyata semuanya menjadi lain saat aku bertemu Iyok (Ah alangkah senangnya jika ada satu sosok gabungan antar dirimu dan Iyok). Aku juga menginginkan hidup bersamanya. Dan itu tidak adil bukan? Aku merasa mengkhianatimu saat bersamanya dan mengkhianatinya saat bersamamu. Saat kamu pergi ke Kalimantan aku pikir itu saat yang tepat untuk menguji perasaanku kepadamu dan kepadanya. Hidup bersamanya begitu rileks aku sungguh menikmatinya. Hampir saja kuputuskan untuk hidup bersamanya. Tapi ternyata rasa cintanya begitu 'menyesak'kan ruangku. Akupun tidak bisa hidup dengan cara itu.
Don, aku harap kamu mengerti dengan pilihanku ini. Aku mencintaimu selamanya aku mencintaimu. Jika kamu sempat bertemu Iyok, tolong katakan bahwa aku hanya menyesal dia tidak bisa merasakan perasaanku kepadanya... just take care of yourself. Neva."

Aku hanya termangu. Karena itu setiap tahun aku pasti menyempatkan pergi ke hutan karet itu dengan seribu satu alasan ke istriku....